Lanjutan dari Part sebelumnya, kali ini bercerita tentang tantangan warga setempat pasca Gempa Jogja 2006, bagaimana mereka bertahan hidup dan mencoba berberpasrah dalam situasi yang mendesak. kekuatan doa dan rasa saling tolong menolong yang membuat kita menjadi lebih kuat dalam menjalani hidup.
Setelah sedikit agak tenang, dan kami kembali berkumpul bersama. waktu menunjukan pukul 02.00 siang dihari yang sama, semua warga mulai bergotong royong untuk membangun camp darurat di sekitar lapangan terbuka. Para orang dewasa mulai mendirikan tenda seadanya untuk tempat berlindung sementara, ada juga yang mencoba mengambil sisa barang-barang yang masih bisa dipakai, ada para ibu yang mulai memasak dengan bahan masakan yang seadanya hasil patungan dari para warga. Ada yang masih mencari sanak sudara yang masih tertimbun, dan ada yang yang mulai membantu menguburkan para korban meninggal dari Gempa tadi. Ada juga warga yang mulai meninggalkan desa untuk mengungsi ditempat yang lebih aman.
Setelah berapa jam berlalu, petang pun mulai datang. Yang biasa terdengar suara adzan magrib penanda bahwa waktu sudah mulai gelap dihari itu tidak ada suara gemanya lagi, lampu-lampu yang biasa menyala untuk menerangi dimalam hari kini sudah tak bersinar lagi, karena memang aliran listrik diseluruh daerah ketika gempa terjadi ikut dimatikan. Suasana mencekam mulai terlihat, tenda-tenda darurat yang baru saja berdiri terasa seram tanpa sinaran cahaya. Gempa-gempa kecil masih terasa mengoncang tanah itu. Tapi mau bagaimana lagi, semua orang berpasrah dan berserah diri atas ketentuan yang sudah terjadi. hari itu memang belum ada bantuan dari luar yang datang, warga hanya mendapatkan segala sesuatu baik pakaian, makanan, dan tempat istirahat dari iuran bersama.
Di malam yang suasananya dingin dan sunyi, hanya terdengar suara jangkrik yang bersahutan. Tidak ada cerita ataupun obrolan antar warga seperti biasa, hanya terdiam senyap. Bahkan tidak banyak warga yang bisa tidur dengan nyenyak. yang ada hanya meratapi nasip, melamun dikegelapan, memikirkan apa yang akan dilakukan esok hari. Belum sempat memikirkan kejadian diesok hari, tiba-tiba suara gemuruh petir dilangit mulai terdengar, tak lama dari suara petir yang terus menyambar, hujanpun mulai turun. Hujan lebat yang turun di kegelapan menambah suasana malam itu menjadi lebih horor dan mencengkam.
Ditengah kepungan hujan deras dan suara petir yang menyambar, semua warga terlihat berserah diri, mulai terdengar lantunan doa dari warga yang mencoba meminta pertolongan kepada Tuhan-nya. Ya, rentetan kejadian yang dialami hari ini mungkin ujian dan teguran dari Tuhan, maka sepantasnya kita sebagai manusia meminta pertolongan kembali ke Tuhan. Tangisanpun sudah tak bisa terbendung, dari derasnya air mata hingga keringnya air mata. Dengan doa dan kekuatan yang ada, warga memutuskan untuk terjaga sampai pagi hari.
Di Pagi yang mulai menampakkan sinar mataharinya, dihari kedua setelah gempa mengguncang tanah ini, tidak banyak warga yang melakukan aktifitas seperti biasa. dihari minggu yang biasanya diisi dengan waktu untuk berlibur dan bersenang-senang, banyak terlihat warga yang hanya terdiam dan duduk melamun melihat rumah mereka yang sudah rata dengan tanah. Senyuman dan sapan hangat dipagi hari yang biasa warga lakukan tidak ada lagi, hanya terdiam lesuh dan terlihat sedih tapi mencoba untuk menutupinya. Anak-anak yang biasa berlarian bermain dipagi hari kini hanya bisa mendekap dipangkuan ibunya. Pagi itu aliran listrik belum bisa menyala, bahkan aliran air pun tidak banyak yang berfungsi, alhasil banyak warga yang memutuskan untuk tidak mandi dan berpakaian seadanya. bantuanpun belum ada yang datang di hari kedua setelah gempa terjadi. masih tidak banyak yang bisa diharapkan di hari itu.
Waktu menunjukan pukul 10.00 pagi, atas intruksi dari ketua RT mulailah para warga untuk kembali bergotong royong. Mulai para bapak-bapak mendatangi reruntuhaan rumahnya untuk mencari benda berharga yang bisa dipakai. Para ibu mulai mengumpulkan sisa-sisa bahan makanan yang ada di reruntuhan rumah masing-masing untuk dimasak dihari itu. Berharap sisa barang berharga milik warga tidak ikut hilang ketika mereka lari meninggalkan rumah karna isu Tsumani kemaren. Jika pun ada sisa uang yang warga miliki itu tidak bisa untuk membeli bahan pokok dan makanan karena pusat perbelanjaan dan pasar tutup terkena dampak dari gempa. Perekonomian warga lumpuh untuk sementara waktu. Kantor tutup sementara waktu, transportasi tidak lagi berjalan, sekolah pun tidak membuka pembelajaran, tanpa kita tau sampai kapan. Hal yang ditakutkan oleh warga ketika semua lumpuh adalah bencana kelaparan yang mungin saja bisa terjadi.
Hari demi hari dilewati, warga bertahan diatas situasi yang sangat mendesak, diharuskan untuk bertahan dengan segala kondisi yang entah apa yang akan terjadi di hari esok. Seletah menunggu beberapa hari mulailah datang bantuan-bantuan untuk para warga, bantuan dari pemerintah daerah, pemerintah pusat dan bantuan dari luar negeri mulai menjamah di desa-desa yang terkena dampak gempa. Bantuan yang paling dibutuhkan warga saat itu seperti bahan makanan, obat-obatan, air, pakaian, dan tenda-tenda yang lebih besar sudah banyak yang masuk. Di situasi seperti itu memang yang paling banyak dibutuhkan adalah kebutuhan primer untuk bertahan hidup. Hidup berada didalam pengungsian membuat masyarakat mengerti arti sebuah kebersamaan, kekeluargaan dan kerukunan, telebih untuk anak-anak muda, mulai mengerti sebuah perjuangan dalam keterbatasan.
Bulan demi bulan telah berlalu, masyarakat mulai kembali bangkit, dari tangis kesedihan berubah menjadi tangis kebahagiaan. Keadaan yang mulai kembali pulih menambah semangat para warga Jogja. Rumah-rumah yang mulai dibangun kembali, pasar yang mulai ramai buka, perkantoran yang mulai beroprasi, perekonomian warga yang mulai tumbuh kembali. Rasa saling peduli dan rasa gotong royong warga yang membuat Jogja kembali bangkit. Walau rasa trauma masih ada tapi tidak membuat mereka terus menerus larut dalam kesedihan, senyum yang kembali merekah membuat Jogja kembali menjadi kota yang ramah.
Setelah sekian tahun berlalu, sebagai salah satu korban gempa, rasa trauma itu masih ada, itu menjadikan pengingat untuk kita bahwa Tuhan adalah pemilik segalanya, takdir, rezeki, maut itu berasal dari Tuhan. Kita sebagai manusia harus terus mengandalkan tuhan dalam segala hal. Hubungan kita sebagai hamba Tuhan harus terus dijaga dengan sang Pencipta. Begitu juga Hubungan kita dengan sesama manusia, rasa saling peduli antar sesama, rasa saling tolong menolong dan rasa saling mengasihi membuat kita menjadi bangkit dan bisa menata kembali kehidupan kita kedepan. Bersyukur dan berterimakasih kepada seluruh masyarakat Dunia, khususnya saudara-saudara setanah air yang selalu sigap dalam memberi bantuan. Bukan hanya untuk korban Gempa Jogja, tapi juga korban bencana alam lain yang pernah terjadi di Indonesia. Doa terbaik untuk seluruh orang dermawan dan relawan yang sudah membatu warga dampak dari bencana alam, semoga menjadi amalan dan ibadah untuk mereka.